Round 1 - Usri/Yusra - Menara Menari

 Melayang di antarsemesta, IRSS Chekov

“Tahan diri Us, makanan ini bukan cuma buat kita,” Yusra menepuk bahu kiri Usri, merasa kelakuan kembarannya tidak elok dilihat yang lain. Sudah lama mereka tidak menghadiri jamuan mewah layaknya tamu kerajaan.

Sebaliknya, Usri tanpa berhenti mengunyah, menebar pandangan ke sekitar. Berhenti pun buat apa, pikirnya. Toh semua makanan di depan mereka sepertinya tidak akan pernah habis. Beruang-beruang cebol suruhan Carol dan Clive terus menyajikan makanan dan minuman mewah, setiap kali habis, mereka akan menyuplai meja sampai penuh dengan segera.

Yusra hanya bisa menghela napas. Daripada makan ataupun minum, dia lebih kepikiran dengan kondisi di sekitarnya. Si dua gadis kecil yang mengundang mereka ke sini sepertinya bukan makhluk normal. Tampilan mereka benar-benar menipu.

Memang, bukan sekali –dua kali mereka bertemu dengan sosok anak-anak yang punya kekuatan unik dan super, bahkan punya otoritas besar di perimeter khusus di dunia asli mereka. Tapi kali ini benar-benar mencengangkan Yusra, Usri? Sama sekali tidak peduli.

Buat apa memikirkan anak ajaib yang punya kekuatan super antar dimensi, berlayar di semacam pesawat luar angkasa dengan teknologi canggih, dan mampu memerintah semacam robot ataupun makhluk buatan berbentuk beruang yang bisa bermain musik dan masak? Yang penting, Makan! Di situasi begini, yang penting isi energi, pulihkan stamina, dan siap menghajar siapapun yang akan mengganggu momen mengenyangkan saat ini!

Empat belas orang lainnya juga tak berbeda dengan usri dan Yusra. Ada yang khawatir, tapi waspada. Ada juga yang terlalu siaga dan menjaga jarak dengan yang lain. Ada yang memuaskan diri dengan minuman dingin untuk menenangkan pikirannya. Beragam perilaku tetapi yang pasti mereka semua datang berpasangan. Tidak jelas apa hubungan masing-masing dari ketujuh pasangan lainnya.

Salah satu gadis yang mengundang mereka bangkit dari tempat duduknya.“Halo semuanya, namaku Carol. Dan nona ini adalah Clive. Admiral dari kapal antar semesta ini. Kami...menculik...ehem, membawa kalian ke sini dengan satu tujuan: Bertarunglah!”

Salah seorang tamu, lelaki tua, protes dengan kuat, “Kalian memang kuat, tapi kalian tak bisa semena-mena membawa orang tak dikenal dan sekonyong-konyong memerintah untuk bertarung. Kami bukan budak!”

Beda dengan si lelaki tua, seorang gadis yang ada di sebelahnya malah tidak mempermasalahkannya, “Lho? Aku malah senang saja bisa menghadapi orang-orang di sini.”

Si lelaki tua terdiam, mengernyit. Kesal dan bingung bercampur baur. Dia yang sebenarnya seorang veteran perang, sangat berharap untuk tidak bertemu pertarungan lagi dan tidak ingin cucunya terseret hal-hal yang dibencinya ini. Sedangkan cucunya, si gadis yang senang bertarung, ingin sekali mengalami banyak perkelahian dengan orang-orang yang kuat di luar sana.

“Kau benar, Peter Gummy,” tawa Clive meledak, dia menyahut sang kakek.

“Kami tidak bisa memaksa kalian bertarung begitu saja. Karena itulah kami sudah menyiapkan hadiah yang pantas:;Sebuah permintaan. Kalau kau dan cucumu, juga semua yang ada di sini berhasil menang dalam turnamen ini, maka kalian berdua mendapatkan satu permintaan. Dua orang menang bersama partnernya, Satu permintaan.”

“Apa kau bisa membuktikan perkataanmu itu?” Yusra mulai terganggu dengan pernyataan yang berani dari Clive, “Satu permintaan itu Setara Mukjizat. Kalian yang sekedar makhluk yakin bisa mewujudkan apa yang kami mau?”

Yusra tidak menyangka pertanyaan itu memicu kejadian yang tidak pernah terduga oleh siapapun di ruangan itu. Clive menjentikkan jarinya. Seluruh boneka beruang disekitar mereka tiba-tiba berubah menjadi makhluk asli yang beringas, kekuatan mereka tak terukur. Dengan satu tepukan, Beruang itu menyerang semua tamu. Enam belas orang di ruangan itu berusaha bertahan, tapi tidak semua bisa selamat.

***

Enam belas orang peserta, delapan mampu selamat karena menghindar ataupun dilindungi oleh orang yang berpasangan dengan mereka. Delapan lagi? Tewas.

Yusra terbelalak. Bergidik dan bergeming, ini pertama kalinya dia melihat Usri benar-benar terluka parah dan kemungkinan besar, sudah hilang nyawa. Dia melihat ke tamu yang lain, mereka juga tergagap menyaksikan apa yang ada di hadapan mereka.

Yusra segera maju dan membuka sarung tangan kulitnya, tangan kanannya sudah bercahaya dan berusaha meraih tubuh Usri. Tapi, belum sempat Yusra melakukan apa-apa, Carol kembali menepukkan tangannya dan seperti mimpi, tubuh usri kembali normal, tanpa luka, tak ada darah sama sekali.

Yusra kembali melihat sekitar, dan benar saja, semua yang terkapar mengalami hal yang mirip dengan Usri. Beruang-beruang di sekitar mereka  masih menggeram.

“Tentu saja ada permintaan yang tidak bisa kami kabulkan,” Carol melanjutkan, “Kedamaian dunia? Tidak mungkin. Namun membangkitkan orang tersayang sampai mendapatkan cinta dari orang yang kalian suka? Kami bisa melakukannya. Dan ingat, Hidup mati ada di tangan kami.”

Yusra masih bergidik, “makhluk apa mereka ini?” tuturnya dalam hati.

“Jadi, Melawan kami berdua atau melawan orang yang kami tunjuk?” Clive bertanya, suaranya ceria.

Ruangan hening. Semuanya membisu. Clive dan Carol mengangguk puas. Satu jentikan jari, dan makhluk-makhluk ganas itu kembali menjadi boneka.

“Turnamen pertarungan ini ada satu hal yang berbeda: Kalian bertarung sebagai dua orang, kalian akan menang sebagai dua orang,” Carol kemudian menekan sebuah remot di tangannya dan sebuah layar besar turun dari langit-langit, “Kami tak perduli kalau kalian harus mengikat yang lebih lemah supaya ia tidak terluka atau bekerja sama menyelesaikan misi dari kami. Selama misi selesai dan dua orang berhasil selamat, kalian menang.”

“Dan ini dia misi kalian,” Clive menepukkan tangannya dan kemudian tulisan besar muncul di layar.

{NINE TOWER ARENA}

“Kalian akan bergerak berpasangan, sekali masuk dua pasang. Mulai dari dari 'Start Line' ini dan Pasangan yang mencapai altar harta karun pertama kali adalah pemenangnya,” Clive menunjuk ke arah garis start dan area berwarn merah di peta.

Yusra yang masih tidak habis pikir mulai beralih fokus, dia berusaha mengabaikan kematian dan kebangkitan sekejap Usri dan peserta lainnya yang mengganggunya. Dia tahu dia harus memperhatikan ini dengan seksama karena apapun yang akan terjadi ke depannya akan sangat bergantung dengan informasi yang didapat. Sekecil apapun itu.

“Menara lagi. Menara lagi. Kenapa apapun yang ditemui harus bersinggungan dengan bentuk menara.” Rasa muak membuncah di hati Yusra, tapi dia tepis dengan segera.

Dengan cepat dia mengobservasi apapun yang tampil di layar itu. Dia mengingat semua seluk beluk yang ada dan menganalisanya segera.

“Arena berbentuk persegi empat. Kotak putih itu menaranya. Sembilan menara. Tinggi menara belum bisa dicek harus lihat langsung. Tidak tahu apa fungsi menara itu. Batu besar tinggi tiga meter ada di antara setiap menara, sepertinya bisa dihancurkan. Dari perbandingan skala peta dengan kemungkinan topografi nyata, Perkiraan Jarak antar tiap menara lima meter, jarak antar baris lima meter, ada 3 baris dan dua jalur jadi jarak total sepuluh meter.”

Yusra mengulang-ulang informasi itu dengan cepat, “masih banyak yang belum jelas. Memang harus on the spot biar dapat strategi yang lebih pas, gumamnya.

Dia pun mulai melihat ke arah lain, “Siapapun yang akan bergerak bersama kami nantinya, apa memang harus jadi lawan? Atau...” Yusra memikirkan cara lain untuk melewati hal absurd ini.

Clive kembali menekan remote dan di layar muncul semua nama para tamu. “Ini lawan kalian di arena nanti. Sebaiknya kalian mengingat nama mereka dan jika mau, berkenalan. Mana tahu kalian bisa bekerja sama.”

“..sebelum saling bunuh, hehe,” sahut Carol.

 Clive mendengus, “yang manapun, siapa cepat, dia dapat.”

***

Beberapa menit lalu...

Tangan kirinya kebas lagi, tapi kali ini bukan kesal maupun amarah atau rasa tidak nyaman yang menghampiri. Kebingungan, gamang, mual, muncul di diri Usri.

“Aku..., mati?”

Usri masih mencoba mengingat ulang apa yang terjadi padanya. Dia masih mengunyah makanan mewah itu tadi, bahkan masih ada sisa makanan itu sekarang di mulutnya. Tapi tadi yang aneh adalah beruang-beruang itu tiba-tiba berubah dan menyerang semuanya. Usri yang masih memegang paha kalkun panggang langsung sigap melindungi Yusra, menghantam balik beruang itu.

Masalahnya, bukan Cuma satu beruang yang menyerang. Setiap Usri menghalau balik beruang itu, mereka pulih dan makin ganas. Usri kewalahan. Kalkun panggang di tangannya dia kunyah habis, tulangnya dia tusukkan ke mata salah satu beruang, memuntir kepalanya dan beruang itu mati. Tapi beruang lain sudah menyerang Usri dan juga Yusra.

Saat perang dulu, dia pernah beberapa kali dalam kondisi begini. Tapi saat lawan sudah dilumpuhkan, mati, mereka akan tetap mati. Tapi kali ini tidak. Sudah bergerombol, ganas, tidak bisa mati pula.

“Tai!” dia merasa sia-sia dengan semua makanan yang dia makan tadi, semua energi yang dia dapat langsung terkuras habis. Dan kali ini dia benar- benar kalah. Tiga cakar beruang masuk ke punggung, dada dan perut usri, menembus tubuh usri tanpa ampun.

Usri ambruk.

Napas usri perlahan menghilang seiring detak nadi yang melemah. Jantungnya hancur. Dia kehilangan kesadaran dan semuanya menjadi gelap.

...

... 

Sampai kapan mau tergeletak di situ?

Sebuah suara menyadarkan Usri, “...hah?”, dia membuka mata dan melihat dirinya di ruangan gelap, tak ada dinding.

Dia hanya melihat ada seseorang, tidak jelas sosoknya, hanya kegelapan yang tampak. Sosok itu duduk di tengah ruangan, dekat dengan dirinya, “Singgasana?”

Mau sampai kapan kau di sini? Jangan bilang Cuma segini kemampuanmu? Aku memberimu lambang itu bukan Cuma buat pajangan, kenapa tidak kau pakai?” cemooh suara itu.

Usri tidak senang, tapi dia antara paham namun tidak ingat sepenuhnya dengan sosok itu.

“Kalau memang lambang itu tidak bisa memberi manfaat untukmu, dan kau tidak bisa menggunakannya dengan baik, biar aku cabut. Saudarimu mungkin bisa menggunakannya atau siapapun yang bisa melindunginya dengan  lebih baik." 

Usri melihat ke arah telapak tangan kirinya, dia merengut. 

“Kupikir kau cukup kuat untuk bisa menjaga dia, toh dia mendapat lambang dari diri-KU yang lain.” 

“Tapi, sekarang lihat, kau bahkan tidak bisa melindunginya bahkan mati. Sebenarnya ada atau tidaknya kau di sampingnya, ada pengaruhnyakah?” 

Semua pernyataan dari sosok itu menusuk Usri, tubuhnya tak lagi sakit, tapi benar-benar mencabik hatinya. Sayang, dia memang sangat sayang dengan saudarinya, mereka berdua selalu bersama. Tapi kali ini dia merasa gagal. Memang seluruh kehidupannya adalah kegagalan sejak lahir di dunia, tapi bahkan saat matipun merasa gagal? 

Dia sudah melindungi Yusra sebaik yang dia mampu, itu janji dia pada Yusra, pada pamannya, dan pada semesta. Bahkan sampai dia kehilangan nyawa. Tapi kenapa rasanya jiwanya sakit?

“Aku tidak menyangka dua gadis itu membuat acara semacam ini, tapi aku jadi bisa melihat batasmu. Nanti, mereka akan menawarkan sesuatu. Lebih baik kau pikirkan baik-baik apa jawabanmu. Saudarimu mungkin takkan punya jawaban sama sekali, tapi kau harus punya. Aku akan memberimu kesempatan. Jangan sia-siakan.”

Tangan kiri Yusri mulai bercahaya perlahan, awalnya hitam lalu semakin memerah. Panas. Usri berteriak, bukan karena kesakitan. Tapi rasanya tubuhnya dialiri sesuatu yang besar.

Kemudian dia bangkit, dan bangun.

Itu yang usri bisa ingat.

Usri melihat ke arah lain. Bukan hanya dia yang mati dan dibangkitkan kembali. Dia arahkan pandangan ke Yusra. Yusra fokus melihat ke arah lain, sebuah layar besar dan dua gadis itu seperti mengarahkan mereka ke sesuatu.

Usri tidak peduli dengan semua itu. Dia masih memikirkan sosok di singgasana tadi. Lalu teringat ke pernyataan dua gadis itu, “...bisa mengabulkan apapun permintaan kalian!” , Usri merengkuh tangan kirinya.

Usri paham, kali ini, dia tahu apa yang akan dia minta. Bukan harta, bukan Tahta, bukan makanan...Tapi sesuatu yang jauh lebih berharga.

***

Memasuki Arena...

Yusra melihat Usri yang benar-benar berubah sikap. Memang basanya Usri akan patuh jika dia memberikan arahan dan strategi untuk menyelesaikan misi. Tapi kali ini, rasanya ada yang aneh. Sejak dia bangkit dari kematian tadi, dia betul-betul diam. Bukan diam seperti yang biasa. Rengutan wajahnya hilang, dia seperti menjadi jauh lebih tenang. Kalut ataupun amarah tidak tampak menyelubunginya seperti dulu. 

“Us, ingat yang kubilang tadi kan?”

Usri mengangguk dan kembali melihat ke arah menara-menara yang menjulang tinggi, “Jangan bertarung, fokus menambah sekutu.”

Yusra menghela napas lega.

“Areanya luas seperti yang sudah kubayangkan, tapi tidak kusangka menaranya bisa sepuluh meteran begini.” Yusra mendongak ke atas, “bahkan yang baris ketiga ujung pun bisa kelihatan dari sini.”

Usri melihat ke arah lawan—tapi menurut Yusra mereka akan bekerja sama— yang berdiri tidak jauh dari mereka dengan seksama. Mein dan Liebe.

Yusra bilang mereka bukan kakak beradik ataupun pasangan romantis. Mein, si wanita berambut panjang hitam, tubuh cukup mempesona, tapi terlalu kecil untuk selera Usri. Dia adalah klon siber dari Liebe, Pria yang ada di sebelahnya. Pria ini memiliki tinggi yang sama dengan Usri tapi kelihatan letoy. Rambut jabrik, berkacamata, gambaran umum seorang geek.

Yusra mengajak Usri menghampiri mereka.

“Proposal tadi diterima?” tanya Yusra ke Liebe.

“.....Yakin maumu begitu?” tanyanya balik. Liebe bukan jenis orang yang mau memberi jawaban langsung. Dia harus tau pemikiran lawan bicaranya dengan jelas baru mengambil langkah yang diperlukan. Semuanya harus jelas. Harus sangat jelas.

Yusra menatap mata Liebe dengan tegas, penuh senyum. “Iya."

“Aneh, sungguh aneh. Tapi nyata,” proposal Yusra benar-benar tidak masuk di akalnya, mana ada orang yang mau menyerahkan hak istimewa meminta satu permintaan—apapun bentuknya—yang bisa dikabulkan, ke lawannya. 

“Baik, Aku setuju, toh artinya aku tidak harus bertarung, tidak ada risiko untuk mati. Mein juga bisa menghemat tenaga.” Ujar Liebe.

Mein tersenyum lebar, tampak giginya yang putih bersih menghiasi senyumnya. “Yes!!”.bisik Mein dari jauh ke arah Yusra sambil mengacungkan jempol.

Mein dan Yusra benar-benar satu gelombang. Waktu pertamakali berkenalan, Mein terkejut masih ada yang mau ramah ke lawan bertarungnya, tapi mendengar segala bujuk rayu dari Yusra dia menepis keraguannya dan menerima tawaran Yusra. Dari Meinlah berikutnya Yusra mampu bernegosiasi lancar dengan Liebe. Satu-satunya kekhawatiran Yusra hanyalah sikap Usri yang cenderung mudah mengajak siapapun berantam dan menyulitkan situasi. 

Namun, Usri ternyata mau mendengarnya dan Mein juga Liebe mau menerima sugestinya. Yusra benar-benar lega. Yang tersisa tinggal menyelesaikan tantangan Carol dan Clive.

“Oke, waktu kita 120 menit.” tukas Liebe, “ada saran?”

Yusra mengulang informasi di kepalanya, menyatukannya dengan info lapangan..

“Area ini persegi memanjang, ukuran lebarnya sekitar 20-30 meter dan panjangnya hampir 50 meter. Sembilan menara, terbagi menjadi tiga baris. di antara menara ada batu. Tinggi menara....” Yusra kembali mendongak, “10 meter. Tinggi batu 3 meter. Lebar menara dan batu sekitar 3-5 meter.”

Liebe ikut memperhatikan tiap menara. Dia mengucapkan sesuatu pada Mein, sambil menunjuk ke puncak menara. Mein memfokuskan pandangan ke arah puncak menara.

Yusra lanjut berbicara, “Kemungkinan besar di lorong antara baris satu dan dua juga antara baris dua dan tiga ada perangkap,” Yusra mulai menopang dagu, sepertinya masih belum puas dengan analisa yang dia miliki.

Liebe sadar dengan ucapan non-verbal Yusra, “apa yang membuatmu ragu?”

“Bukan ragu, lebih ke arah, ada yang miss, rasanya ada yang belum lengkap. Gimana ya. Sebenarnya jarak 50-an meter itu, manusia dengan stamina normal bisa lari secepat yang dia bisa dan menempuh jarak 50 meter tidak sampai 15 detik. Toh, 100 meter itu bisa dicapai dengan rekor 8 detik di dunia kami.” cecar yusra.

Liebe hanya bisa diam, dia yang tubuhnya lemah dan hampir tidak punya stamina, lari 50 meter pun mungkin butuh dua –tiga menit lalu muntah-muntah. Yang dibanggakan darinya hanyalah segala pencapaiannya di dunia sebagai manusia paling jenius dan ahli teknologi di puncak dunia karena otaknya yang jenius. Tapi lari? Bukan pilihan.

“Itu, di puncak menara ada semacam antena. Masing-masing dari menara itu punya antena yang memiliki energi yang berbeda.” Tukas Mein. “Ada yang api...es...dan...”

“Listrik,” sambung Liebe.

“Benar, bagaimana kau tahu?” tanya Mein.

“Aku bisa merasakan gelombangnya dari tadi. Berarti benar yang kuduga. Ini semacam Tesla Coil!” Jawab Liebe.

“Oh, jadi itu fungsi menara-menara ini? kukira Cuma hiasan doang,” ujar Yusra sambil tertawa kecil. Mein ikut tertawa.

Liebe Cuma bisa geleng kepala melihat sikap Yusra. Walau dalam hati kecilnya dia berteriak, “imuuuuut”, Liebe hanya seorang pria yang belum menyentuh area dewasa karena kehidupannya dulu memaksanya untuk menjadi penyendiri. Setelah tidur beku selama 200 tahun. Hanya Mein, carol dan clive yang bercengkrama banyak dengannya. Saat Yusra menghampirinya pertama kali, dia hanya bisa mencoba jaim.

“Mein, coba ke sana.” Suruh Liebe. Menunjuk ke arah menara.

“Kok aku?”

“Jadi, siapa lagi? Aku?” tukas Liebe.

Mein melihat liebe dan tertawa mengejek. Memang Cuma Mein yang bisa Liebe andalkan untuk soal praktikal begini.

“Hmmm, Biar aku saja.” Kata Yusra.

Yusra mencoba maju mendekati Menara, maju selangkah demi selangkah. Sampai akhirnya di masuk ke area deteksi menara. Bola api menembak beruntun dari salah satu menara dan listrik dari menara lainnya.

Yusra menghindar, tapi bukannya menjauh dari menara dia semakin mencoba mendekati menara. Bola api dan listrik itu mengenai lantai arena, meledak dan membakar tempat Yusra berada sebelumnya.

Setiap kali melangkah mendekati menara, Yusra menghindari tembakan tiap menara dengan cekatan. Satu langkah ke kiri, satu langkah kanan, berputar, mencoba mundur selangkah, maju dua langkah, melompat dan loncat kesana kemari. Dia seperti menari, menerka setiap ritme dari tembakan-tembakan menara, sinkron dengan jeda waktu yang ada. Bahkan setiap efek dari ledakan, beku ataupun listrik yang menyambar hanya menambah keindahan setiap lekuk dari gerak tubuhnya.

Saat dia mencapai area dinding, dia berjalan naik ke dinding hampir dua meter tingginya, lalu melakukan lompatan balik ke belakang, lalu salto berulang kali sebelum berlari ke area awal. Tanpa terengah sekalipun.

‘Ummm...lumayan juga, begitu menurutmu?” tanya Yusra ke Liebe yang terpana melihatnya.

“Liebe?” tanya Yusra lagi.

“Liebe, dipanggil Yusra tuh,” sahut Mein sambil menepuk kepala Liebe.

“Aduh! Eh apanya?”

“Itu maksudmu menyuruh Mein ke sana? Untuk melihat pola tembakan dan cara kita harus menghindarinya?” tegas Yusra.

“Eh,...” Liebe gagap. Dia hanya ingin menyuruh Mein untuk melihat fungsi utama menara. Tidak lebih. Dan yang Yusra lakukan malah lebih dari itu, Liebe malu untuk mengakui kalau dia terpana, “I-iya...”

“Jadi kita harus menari?” Tanya Mein.

“EH, enggah mungkin! Mana bisa kita bergerak kayak Yusra,” sangga Liebe. “Kita mana bisa menari.”

“Aku bisa sih,” ujar Mein. “Tapi...”

Mein melirik Usri dan Liebe. “Kalian emang ga mungkin sih ya.”

Liebe kesal, tapi tidak bisa membalas. Usri, hanya diam melihat ke arah menara. Atau lebih tepatnya ke arah tujuan mereka, altar utama.

“Aku ada cara lain,” Yusra menarik tangan Usri, “Kita tidak perlu menari, tidak perlu berlari. Tidak perlu melewati jalur yang mereka siapkan. Ikut aku.”

Mein dan Liebe mengikuti Yusra yang terus berjalan sambil menarik Usri.

Mereka sampai ke bagian paling ujung terbuka—awal lorong pertama—dan berhadapan langsung ke batu baris kedua yang menempel di dinding.

“Itu jalan pintas kita!” teriak Yusra.

Mereka semua kebingungan dengan ucapan Yusra.

“Mana jalan pintasnya?” tukas Mein.

Liebe berpikir sebentar, mengingat peta yang ditunjukkan Clive sebelumnya,”...oh!benar juga. Penghalang antara titik kita sekarang dengan area altar hanya satu batu ini.”

“Benar!” sahut Yusra.

“Jadi kita harus melompati ini?” tanya Mein.

“Gak perlu! Hehe..”senyum Yusra kembali menghias wajahnya. “Us, bisa kan?”

Usri akhirnya paham, dia hanya punya satu tugas dan semua ini bisa selesai dengan cepat, “Angkat atau Remukkan?” tanya Usri.

“Angkat, kita butuh itu.” Jawab Yusra. “Tapi sebelum itu, Liebe, kamu bisa Jamming menara ini kan?”

Liebe yang bingung merasa tidak perlu lagi bertanya darimana Yusra tahu tentang kemampuannya, dia langsung menjawab, “bisa tapi Cuma beberapa menit. Setelah itu Mereka akan aktif lagi.”

“Cukup kok,” jawab Yusra, “saat kubilang mulai, Langsung Jamming ya.”

Liebe mengangguk. Mein bersiap di samping Liebe, dan Usri sudah bersiap di depan.

“Mulai!”

Liebe mulai melakukan gerakan yang hanya dia yang tahu dan menara itu benar-benar tidak menembakkan apapun. Lalu, Mereka langsung berlari kecil di belakang, mengikuti Usri.

Usri yang sudah sampai di hadapan batu setinggi 3 meter itu. Mulai meremas kedua tangannya. Membungkuk, kemudian...

“Hup!” Batu itu sudah berada di atas kepala usri. Dengan kedua tangan itu dia menopang batu itu dengan mudah, “Enteng.” Pungkasnya.

Liebe dan Mein hanya bisa menganga. Batu itu, dilihat darimanapun, benar-benar padat dan besar. Dengan kekuatan Mein pun mungkin butuh beberapa kali hentakan agar hancur. Tapi untuk mengangkatnya? Mein tidak akan cukup kuat.

“Enteng dia bilang?” Mein kesal.

“Us, tetap posisinya begitu ya, jadikan payung buat kita sampai area alta--.” Ucapan Yusra terputus.”Loh?”

Yang dia lihat bukan lagi Usri, melainkan Liebe yang mengangkat batu raksasa itu.

“Hah?” Liebe bingung melihat dirinyalah yang mengangkat batu di hadapannya.

Mein spontan tertawa terbahak. Itu pandangan mustahil tapi benar-benar konyol. Bayangkan, Liebe asli tidak mungkin melakukan itu. Mengangkat batu kecil saja mungkin tangannya sudah keseleo. Ini, batu raksasa? Lawakan abad ini!

Liebe dan Yusra saling melihat lalu melihat pasangan mereka masing-masing, kemudian melihat diri mereka sendiri.

“Ah! Ini pasti fungsi menara yang lainnya! Yang Ku-jamming hanya fungsi puncak menara, sedangkan yang ini tidak terdeteksi olehku.” Ujar Liebe yang sekarang berpenampilan Usri.

Yusra jengah melihat Usri di depannya berceloteh soal teknologi, kali ini dia yang tertawa terbahak menggantikan Mein. Usri, yang sama sekali anti teknologi, atau lebih tepatnya Super Gaptek, berbicara dengan istilah-istilah teknis, dalah pemandangan yang luar biasa!

“Ini rupanya jebakannya, hahaha!” tawa Yusra benar-benar meledak.

“OI, CEPAT.” Usri tidak terhibur dengan keisengan menara buatan dua gadis itu. Lebih cepat selesai, lebih baik.

Ketiganya sadar dan mulai berjalan ke arah altar.

Sesampainya di area tiga meter sebelum altar, menara kembali hidup dan menembakkan listrik. Batu yang Usri angkat meledak berkeping-keping. Mereka langsung lari ke arah altar, menjauhi area deteksi menara.

“Oke, deal kita berjalan, kalian boleh langsung menuju area altar.” Ujar Yusra.

Liebe dan Mein mengangguk.

Saat kaki mereka hampir melangkah tepat di lingkaran altar. Tubuh mereka berdua terhempas ke belakang, menabrak menara. Keduanya kemudian ditembak beruntun oleh menara.

Usri menghalau kedua tubuh mereka berbarengan dengan satu tangan kiri yang terbuka. Tangan itu sudah merah menyala. Sedangkan Yusra, dipeluk paksa oleh Usri yang membawa mereka melangkah ke Altar.

Yusra terkejut, “USRI! KENAPA?! AKU SUDAH MEMINTAMU UNTUK TIDAK MELAKUKAN HAL INI. AKU SUDAH MENYERAHKAN DAN BERJANJI UNTUK MEMBERIKAN HAK KITA PADA MEREKA BERDUA!!!”

Yusra membentak, dan meronta. Tapi Usri bergeming.

“Pasangan Usri dan Yusra berhak maju menuju babak berikutnya!” suara carol dan clive bergema di arena.

Yusra khawatir dengan Mein dan Liebe. Usri mulai mendudukkan Yusra di altar. Lalu berbalik ke arah Mein dan Liebe.

“Yus, aku tahu kau bukanlah orang yang punya keinginan besar ataupun permintaan khusus. Kau bahkan rela menyerahkan nyawamu jika bisa membantu banyak orang, bahkan aku, saudara kembarmu, kau lindungi dengan caramu. Setiap kali.”

Usri jarang berbicara panjang seperti ini. bahkan hampir tidak pernah Yusra melihatnya seperti ini.

“Tapi, dengan begitu, artinya kau mengabaikan dan mengorbankan kehidupan dan kebahagiaanmu sendiri.”

Yusra terkesiap mendengar kata-kata Usri.

“Aku...tadi telah mati di hadapanmu. Karena melindungimu. Tidak, bukan aku menyesal. Aku ikhlas kehilangan nyawaku jika artinya dirimu bisa selamat.”

Yusra terdiam.

“Tapi, karena itu juga aku sadar. Apa yang paling aku inginkan, apa permintaan terbesarku.”

Yusra memandang ke arah punggung Usri.

“Yus, aku ingin, tanpa kehadiranku ini sekalipun. Kau akan tetap selalu terlindungi, selalu dimudahkan dalam setiap langkahmu, hidup dengan penuh kebahagiaan, tenang dan lapang tanpa gangguan.”

Yusra mulai menitikkan air mata.

“Kau tahu apa yang pernah paman bilang? Nama kita berdua diambil dari naskah kuno.

Aku tidak begitu ingat, bahkan aku tidak bisa bahasa kuno itu. Yang aku ingat, kalimat dari naskah kuno itu begini, ‘dan Bersama kesulitan, ada kemudahan. Bersama kesulitan, ada kemudahan. Yusra, kaulah kemudahan itu. Dan aku, Usri, adalah Kesulitan itu.”

“Tapi Us!” Yusra mencoba menyanggah, tapi Usri kembali berbicara.

“Kau tahu, orang orang di desa Shar sering mengatakan dan menggunakan itu untuk menenangkan diri mereka atau anak-anak mereka dengan kalimat itu di saat mereka mengalami kesulitan, kekalutan maupun kesengsaraan. Karena mereka menganggap, kesulitan itu ada untuk diambil pelajarannya. Dan Kemudahan hanya akan dihargai saat ada kesulitan.”

“Tapi, apa kau tahu? Menurutku, semuanya layak hidup tanpa hadirnya kesulitan di hidup mereka. Aku ingin semuanya mengalami kemudahan agar bisa merasakan kebahagiaan yang melegakan.”

Yusra menunduk, dan menangis.

“Aku tahu kau benar-benar tidak punya keinginan apapun. Tapi...aku ingin kau mencoba berpikir kembali. Untuk itu, ayo berjalan sekali lagi, kita lewati tantangan dari dua gadis kecil itu bersama-sama sampai kau menemukan apa yang kau inginkan.”

“Aku tahu kau akan menyanggahku. Tapi Yus, kematian tadi..dan apa yang terjadi di dalam diriku saat aku mati,  menyadarkanku akan arti hidupku dan apa arti diriku ada di sampingmu wahai saudariku sayang.”

“Sekarang, selagi kau duduk di situ, legakan dirimu dengan tangisan itu. Aku harus menuntaskan apa yang aku mulai.”

Usri meninggalkan Yusra di Altar dan menerjang Mein dan Liebe yang bangkit dan mengamuk. Menara di sekitar mereka mulai liar menembakkan listrik. Sepertinya Liebe menyabotasenya. Hantaman Usri, tusukan dan sabetan Mein serta ledakan menara berpadu.

Mereka seperti menari di bawah alunan musik. Tapi bukan tarian yang menyenangkan, melainkan, tarian yang menyesakkan.


***

 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Round 1 - Mein/Liebe - Walk In The Park

Round 1 - Imbrin/Fionn - Panthenna Selalu Bersamamu

Peserta 09 - Locke(Imbrin) / Marcia(Fionn)